Minggu, 14 Juni 2015

Makalah Salinitas, Densitas dan Suhu di Laut Timor



MAKALAH KIMIA LAUT

Studi Literatur Mengenai Salinitas, Densitas, dan Suhu    pada Perairan Timor

 

UNPATTI Warna.bmp.jpg
OLEH :
Kelompok VIII


IRENE M LUTURMAS
NUR INDAH FITRI
ASTRIANTY UNWAKOLY
LEVINA SALENUSSA
ERLINA R SAMALLO
MBOY FUTI RERY
YUSTINA MAKUPIOLA
SAMY PAULUS
FRISLANDO KAKISINA
MARIA KAKISINA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2015


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Bentuk geografis Indonesia yang berupa kepulauan dan posisinya yang diapit oleh dua samudera besar (Samudera Pasifik dan Samudera Hindia) berperan sebagai “kanal penghubung” yang mengalirkan massa air antara kedua samudera tersebut.  Para peneliti menamakan kanal penghubung tersebut dengan sebutan Arus Lintas Indonesia (Arlindo).  Arus Lintas Indonesia (Arlindo) atau dikenal oleh dunia dengan sebutan The Indonesian Throughflow membawa massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia yang cenderung lebih dingin melalui perairan Indonesia.  
Pada Laut Timor sering kali didominasi oleh proses percampuran dan penyebaran air tawar. Masukan air tawar berasal dari curah hujan dan juga  aliran sungai. Kondisi demikian menyebabkan terjadinya interaksi antara air tawar dengan air laut. Interaksi ini akan sangat mempengaruhi pada penyebaran temperatur, salinitas, dan faktor oseanografi lainnya. Perubahan suhu dapat menyebabkan terjadinya sirkulasi dan stratifikasi air yang secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap distribusi organisme perairan.
Massa air asal Samudera Pasifik masuk ke perairan Indonesia melalui dua jalur.  Jalur  Selat Makasar (jalur barat) yang dimulai dari Selat Mindanao, bergerak ke Laut Sulawesi terus bergerak ke Selat Makasar, Laut Flores, dan Laut Banda.  Jalur lain (jalur timur) Arlindo masuk melalui Laut Maluku dan Laut Halmahera.  Jalur keluar Arlindo melewati perairan yang terbuka terhadap Samudera Hindia seperti Selat Lombok, Selat Ombai, Laut Sawu dan Laut Timor.  Adanya arus ini menyebabkan terciptanya karakteristik massa air yang khas di perairan Indonesia.
Laut Timor merupakan salah satu jalur keluar massa air Arlindo. Perairan ini memiliki peranan yang penting dalam sistem sirkulasi massa air yaitu mensuplai massa air ke Samudera Hindia.  Sirkulasi  air laut, seperti Arlindo yang menghubungkan Samudera Pasifik dan Hindia melalui perairan Indonesia tentu akan mengakibatkan terjadinya perubahan parameter oseanografi baik salinitas, densitas, maupun suhu.  Informasi tentang variasi parameter oseanografi pada perairan lintasan Arlindo sangat diperlukan untuk mempelajari karakteristik massa air suatu perairan, yang merupakan suatu cara untuk mengetahui kondisi fisika perairan.  Informasi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya  perikanan dan kelautan khususnya di lokasi pengamatan. 
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan  latar belakang diatas diharapkan kita akan mengetahui tentang  salinitas, densitas dan suhu pada perairan Indonesia, khususnya Laut Timor
C.      Tujuan
Mengetahui sebaran menegak dan melintang salinitas, densitas, dan suhu pada perairan Indonesia, khususnya Laut Timor.


BAB II
PEMBAHASAN

A.       PENGERTIAN

1.      Salinitas 
Salinitas merupakan parameter fisika laut yang sangat penting selain suhu.  Salinitas menunjukkan jumlah gram garam  terlarut yang terkandung dalam satu kilogram air laut, jika semua karbonat telah teroksidasi, brom dan yod diubah menjadi khlor dan semua unsur organik telah teroksidasi.  Salinitas merupakan salah satu parameter yang dapat dimanfaatkan dalam mempelajari karakteristik massa air suatu peraian. Sebaran salinitas lebih bervariasi dibandingkan dengan sebaran suhu pada umumnya di kawasan tropis.  Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti presipitasi, evaporasi, masukan air tawar (run off), proses pengadukan (mixing), serta perubahan arus akibat pergantian musim.  Pada Musim Barat (Desember-Februari) akan terjadi penurunan nilai salinitas air laut akibat masukan air tawar dan presipitasi dalam jumlah yang besar.  Daerah dengan evaporasi yang lebih tinggi dibandingkan presipitasi memiliki nilai salinitas yang tinggi.  Pengaruh perubahan arus akibat pergantian musim terhadap nilai salinitas dapat diketahui dari perbedaan letak isohalin.  Di perairan Indonesia, isohalin pada Musim Barat bergerak lebih ke timur dan sebaliknya pada Musim timur. 
Sebaran vertikal salinitas di suatu perairan dibagi dalam tiga lapisan, yaitu lapisan permukaan (homogeneous layer), lapisan haloklin, dan lapisan dalam.  Ketebalan lapisan homogen lebih tergantung pada kekuatan pengadukan.  Pada  perairan dangkal, angin dapat melakukan pengadukan massa air lapisan atas sehingga membentuk lapisan homogen dengan ketebalan 50 – 70 m.  Pada lapisan dengan salinitas homogen, suhu biasanya homogen. 
Lapisan haloklin ditandai dengan perubahan salinitas secara drastis seiring bertambahnya kedalaman.  Lapisan terakhir terletak mulai dari batas bawah lapisan haloklin sampai dasar perairan.  Sebaran salinitas secara horizontal bervariasi berdasarkan lintang. Salinitas minimum terdapat di daerah dekat ekuator yang disebabkan presipitasi yang tinggi, sedangkan salinitas maksimum pada 20o  LS dan 20o LU. Nilai salinitas mengalami penurunan dengan semakin besarnya lintang.
Perairan Indonesia memiliki kisaran salinitas yang relatif beragam.  Nilai salinitas rata-rata tahunan yang terendah sering dijumpai di daerah bagian barat dan semakin meningkat ke daerah timur.  Hal ini disebabkan karena sebelum memasuki perairan Indonesia bagian barat, massa air bersalinitas tinggi dari Samudera Pasifik masuk ke Laut Cina Selatan dan mengalami penurunan nilai salinitas karena terjadi pengenceran dari daratan Asia Tenggara sehingga ikut menurunkan nilai salinitas di perairan bagian barat Indonesia.  Sedangkan di perairan bagian timur Indonesia, massa air dari Samudera Pasifik langsung masuk ke perairan Indonesia melalui Laut Sulawesi, Laut Maluku, dan Laut Halmahera
tanpa mengalami proses pengenceran yang berarti.  Selain itu, sedikitnya jumlah sungai besar di Indonesia bagian timur dibandingkan di bagian barat  ikut mempengaruhi besarnya nilai salinitas di daerah tersebut.  Tingginya tingkat presipitasi di daerah tropis menyebabkan rata-rata salinitas di daerah tropis kurang dari 34 0/00.  Nilai salinitas pada Musim Barat lebih besar dari 34 0/00 dan pada Musim timur nilai salinitas kurang dari 34 0/00.

2.      Densitas
Densitas (ρ) didefinisikan sebagai massa per unit volume dengan unit (kg/m3). Densitas di laut tidak dapat diukur secara  langsung melalui suatu alat ukur.  Densitas diukur menggunakan data suhu, salinitas, dan tekanan yang diukur secara langsung.  Perhitungan ini memiliki ketelitian sampai lima angka di belakang koma.  Pada umumnya nilai densitas air pada permukaan laut berkisar 1.027 kg/m3.  Agar lebih praktis dan karena perubahan nilai densitas hanya dalam dua digit terakhir,
Densitas air laut bergantung pada temperatur (T), salinitas (S) dan tekanan (p). Kebergantungan ini dikenal sebagai persamaan keadaan air laut (Equation of State of Sea Water):
ρ = ρ(TSp)

Penentuan dasar pertama dalam membuat persamaan di atas dilakukan oleh Knudsen dan Ekman pada tahun 1902. Pada persamaan mereka, ρ dinyatakan dalam g cm-3. Penentuan dasar yang baru didasarkan pada data tekanan dan salinitas dengan kisaran yang lebih besar, menghasilkan persamaan densitas baru yang dikenal sebagai Persamaan Keadaan Internasional. Persamaan ini menggunakan temperatur dalam oC, salinitas dari Skala Salinitas Praktis dan tekanan dalam dbar (1 dbar = 10.000 pascal = 10.000 N m-2). Densitas dalam persamaan ini dinyatakan dalam kg m-3. Jadi, densitas dengan harga 1,025 g cm-3 dalam rumusan yang lama sama dengan densitas dengan harga 1025 kg m-3 dalam Persamaan Keadaan Internasional.
Densitas air laut akan meningkat akibat dari peningkatan nilai salinitas dan tekanan serta penurunan nilai suhu.  Secara tidak langsung, perubahan nilai densitas dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi nilai suhu dan salinitas.  Proses pemanasan yang terjadi di suatu permukaan laut dapat  menyebabkan perubahan pada nilai densitasnya. 
Seperti halnya lapisan termoklin pada pelapisan suhu dan lapisan haloklin pada pelapisan salinitas, pelapisan densitas pada suatu perairan akan menghasilkan lapisan piknoklin.  Densitas pada lapisan piknoklin mengalami peningkatan yang drastis seiring meningkatnya kedalaman.  Ketebalan lapisan ini berbeda-beda untuk tiap wilayah perairan.
3.      Suhu
Suhu merupakan salah satu parameter air laut yang sangat penting.  Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda.  Suhu pada umumnya diukur dalam satuan derajat Celcius (oC).  Sinar matahari merupakan sumber bahang bagi perairan.  Pancaran energi matahari yang sampai ke permukaan laut akan diserap oleh massa air.  Pada umumnya perairan yang banyak menerima bahang dari matahari adalah daerah yang terletak pada daerah lintang rendah (Weyl, 1970) dan akan semakin berkurang bila letaknya semakin mendekati kutub (Sverdrup et al., 1942).  Suhu air laut di daerah sekitar khatulistiwa pada umumnya tinggi.
Suhu permukaan laut umumnya dipengaruhi oleh kondisi meteorologis. Faktor-faktor meteorologis yang berperan adalah evaporasi, presipitasi, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari.  Suhu air laut bervariasi tergantung pada kedalaman, sirkulasi massa air, turbulensi, kondisi geografis, dan jarak dari sumber panas seperti gunung berapi di bawah air, dimana suhu ini akan menurun seiring bertambahnya kedalaman. Suhu air laut berkisar antara -2 oC hingga 30 oC, nilai terendah terjadi di daerah kutub (King, 1963).  Rata-rata variasi tahunan suhu pada lapisan permukaan daerah khatulistiwa kurang dari 2 oC, kecuali Laut Banda, Laut Arafura dan Laut Timor memiliki nilai yang tinggi antara 3 – 4 oC yang sama dengan daerah selatan Jawa (Wyrtki, 1961).  



Menurut Richard dan Davis (1991), suhu perairan secara vertikal dikelompokkan menjadi tiga zona, yaitu :
a)  Lapisan permukaan (homogeneous layer),
b)  Lapisan termoklin (thermocline layer),
c)  Lapisan dalam (deep layer) yang merefleksikan ciri khas asal massa air tiap lintang.
Profil sebaran menegak suhu yang menunjukkan letak lapisan tercampur dan lapisan termoklin dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Profil menegak suhu di laut
Pada umumnya lapisan permukaan memiliki nilai suhu yang seragam (homogen).  Lapisan permukaan pada perairan tropis hangat dan memiliki variasi suhu tahunan sangat kecil, sedangkan secara umum variasi hariannya akan tinggi.   Di daerah tropis, lapisan ini dimulai dari permukaan hingga kedalaman 50-100 m dengan nilai suhu berkisar 26 – 30 oC.  Menurut Wyrtki (1961), lapisan ini terjadi karena adanya percampuran massa air yang disebabkan oleh angin, arus dan pasang surut.  Lapisan homogen pada Musim Barat terbentuk dari permukaan hingga kedalaman 100 m dengan kisaran suhu 27 – 28 oC, sedangkan pada Musim Timur ketebalan lapisan lebih tipis sekitar 50 m dari permukaan (Ilahude, 1970).    Wyrtki (1961) menyatakan lapisan termoklin adalah lapisan air tempat terjadinya penurunan suhu yang cepat dengan bertambahnya kedalaman.  Lapisan termoklin memiliki ketebalan dan kedalaman yang berbeda di beberapa perairan.  Menurut Gross (1990), lapisan termoklin yang terbentuk di perairan tropis dapat mencapai ketebalan antara 100 – 205 m dengan gradien suhu mencapai 0.1 oC/m.
Lapisan dalam (deep layer) mengalami perubahan suhu air laut yang sangat lambat seiring meningkatnya nilai kedalaman. Oleh karena itu massa air lapisan dalam relatif homogen hingga ke dasar perairan.  Pada daerah tropis kisaran suhu di lapisan dalam adalah 2oC hingga 4 oC (Ilahude, 1999).  Gradien suhu air laut lapisan dalam hanya kira-kira sekitar 0,05 oC /100 m.  Massa air yang menempati lapisan ini biasanya dinamakan air jeluk (deep water).
Nilai suhu maksimum dipengaruhi oleh proses pemanasan yang kuat dan kondisi angin yang bertiup melemah di permukaan laut.  Sedangkan suhu minimum dipengaruhi oleh tingginya presipitasi dan angin yang bertiup cukup  kuat, yang pada umumnya terjadi pada Musim Barat (Desember - Februari).
B. Perairan Timor
            Laut Timor (Bahasa Portugis: Mar de Timor) adalah perpanjangan Samudera Hindia yang terletak antara pulau Timor, kini terbagi antara Indonesia dan Timor Leste, dan Teritorial Utara Australia. Di timur berbatasan dengan Laut Arafura, secara teknis perpanjangan Samudera Pasifik. Laut Timor memiliki 2 teluk kecil di pesisir Astralia utara, Teluk Joseph Bonaparte dan Teluk van Diemen. Kota Australia Darwin ialah satu-satunya kota besar yang terletak di tepi laut Timor.
Laut ini memiliki luas 480 km (300 mil), meliputi darah sekitar 610.000 km persegi (235.000 mil persegi). Titik terdalamnya ialah Palung Timor di utara , yang mencapai kedalaman 3.300 m (10.800 kaki). Bagian lainnya lebih dangkal, dengan rata-rata kedalaman yang kurang dari 200 m (650 kaki). Merupakan tempat utama untuk badai tropis dan topan. Kondisi Laut Timor dengan daerah pintasannya diperlihatkan pada Gambar Peta Laut Timor.




           
Pintasan Timor merupakan pintu keluar utama Arlindo karena memiliki kedalaman dan keterbukaan paling besar dengan Samudera Hindia dibanding pintu keluar Arlindo lainnya.  kedalaman maksimum Pintasan Timor adalah 3 km (pada Timor Trench) dengan lebar pintasan 80 km, kedalaman sill  di bagian barat 1890 m dan sill di bagian timur 1400 m.  Pintasan Timor merupakan bagian (di sebelah utara) dari wilayah Laut Timor, dimana Paparan Sahul dan Paparan Australia (sekitar 2/3 bagian dari Laut Timor) di bagian selatan.
Suhu permukaan laut di Laut Timor pada Muson Tenggara (Musim Timur) bervariasi antara 26.2 oC dan 27.0 oC dan nilai salinitas pada musim ini berkisar antara 34.1-34.5.  Pada Muson Barat laut (Musim Barat) suhu permukaan laut Timor lebih hangat yaitu berkisar antara 29.9 oC dan 30.4 oC, nilai salinitas pun akan meningkat hingga mencapai 34.92 (Ilahude, 1996).
Tubalawony ( 2000) menyatakan adanya pelapisan sebaran vertikal suhu yang diukur pada Musim Timur (Juni-Agustus).  Lapisan permukaan tercampur memiliki ketebalan rata-rata 70 m.  Lapisan termoklin terletak pada kedalaman denagn kisaran batas atas di kedalaman 49 – 117 m dan kisaran batas bawah adalah 77 – 151.2 m. 
Arus di Pintasan Timor konsisten mengalir ke arah barat daya (menuju Samudera Hindia) pada musim dan tahun yang berbeda.  Kecepatan arus di Pintasan Timor sangat kuat di bagian yang dalam namun melemah di daerah paparan (Wyrtki, 1961).  Pengukuran yang dilakukan Kapal Riset Franklin  pada bulan Oktober 1987 (Musim Peralihan II) memperoleh nilai kecepatan arus di  Pintasan Timor mencapai 0,4 m/detik pada lapisan kedalaman 100 – 150 m sedangkan pada bulan Maret 1988 (Musim Peralihan I) pada kedalaman 100 m  (Cresswell et al., 1993).




Gambar: Sebaran arus permukaan di daerah paparan Laut Timor pada Musim Timur dan Peralihan I (Maret-Agustus) serta Musim Barat dan Peralihan II (September-Februari)
Pada Musim Timur, arus di Samudera Hindia bagian timur (selatan Indonesia) bergerak menuju barat menghasilkan muka air yang rendah di bagian selatan Indonesia.  Perbedaan muka air di Samudera Pasifik bagian barat dengan Samudera Hindia bagian timur akan menjadi besar (mencapai 28 cm) dan kecepatan arus pun akan tinggi pada Musim Timur (Cresswell et al., 1993).  Arus di Pintasan Timor pada lapisan permukaan memiliki rata-rata kecepatan yang relatif tinggi dan dominan mengalir ke Samudera Hindia (ke arah barat daya) dibandingkan dengan lapisan yang lebih dalam (Amela, 2008).  Arus  permukaan memiliki kecepatan yang cukup tinggi terjadi pada Musim Timur (0.24 m/dtk) serta Peralihan II 2005 dan 2006 (0.26 dan 0.21 m/dtk) karena Musim Timur tinggi muka air antara Samudera Pasifk dan Samudera Hindia bagian timur khususnya di selatan Indonesia cukup besar sehingga kecepatan arus menjadi tinggi.  Kecepatan arus pada Musim Timur ini akan melemah pada kedalaman 300-997 m, mencapai 0.07 m/dtk.  Arah arus pada lapisan yang lebih dalam umumnya juga bergerak ke arah barat daya tetapi sering berubah arah ke tenggara, selatan, barat laut, utara, dan timur laut yang diduga karena pengaruh Gelombang Kelvin yang dibangkitkan di Samudera Hindia (Amela, 2008).
B.       Sebaran Menegak dan Melintang Salinitas
Profil menegak (Gambar B.1) dan melintang (Gambar B.2 dan B.3) digunakan untuk melihat pola pelapisan massa air berdasarkan salinitas serta menunjukkan adanya salinitas maksimum dan minimum.  Nilai salinitas  meningkat seiring bertambahnya kedalaman. 
*      Musim Barat
Sebaran menegak salinitas menunjukkan pola sebaran salinitas terhadap kedalaman.  Sebaran menegak salinitas pada Musim Barat memperlihatkan nilai salinitas relatif seragam dari permukaan sampai kedalaman rata-rata 40 m.  Kemudian salinitas mengalami penurunan  nilai sampai kedalaman rata-rata 70 m. Setelah itu salinitas mengalami peningkatan sampai kedalaman rata-rata 150 m. Kemudian salinitas mengalami penurunan nilai yang relatif konstan terhadap  kedalaman.
Gambar B.1.  Sebaran menegak salinitas pada Musim Barat dan Musim Timur
Gambar B.2. Sebaran melintang salinitas pada Musim Barat 
Pada gambar sebaran menegak salinitas Musim Barat terlihat bahwa hampir seluruh stasiun terbentuk lapisan permukaan tercampur.  Lapisan permukaan tercampur terbentuk mulai dari permukaan sampai kedalaman yang berbeda untuk masing-masing stasiun.  Kedalaman terdangkal untuk lapisan permukaan tercampur pada pengamatan Januari 2004 (Musim Barat) sebesar 22 m (stasiun 5) dan terdalam sebesar 58 m (stasiun 3).  Kisaran salinitas pada pengamatan Musim Barat  yaitu 32.45−34.41 psu dengan gradien salinitas mencapai 0.01 psu/m.  
Di sekitar lapisan permukaan tercampur ditemukan massa air dengan salinitas minimum kurang dari 34.25 psu mencapai kedalaman 4 m.  Massa air lainnya yang juga ditemukan pada pengamatan Musim Barat adalah massa air bersalinitas minimum 34.5 psu tepatnya di lapisan termoklin yaitu stasiun 2−5 di kedalaman sekitar 153−215 m.
Lapisan haloklin, dimana salinitas mengalami perubahan salinitas secara cepat terhadap kedalaman, terbentuk pada masing-masing stasiun pengamatan memiliki ketebalan yang berbeda-beda.  Lapisan haloklin terbentuk sampai kedalaman terdangkal yaitu pada stasiun 2 sebesar 133 m dan terdalam pada stasiun 1 sebesar 160 m.  Kisaran salinitas pada lapisan ini 34.27−34.54 psu dengan gradien salinitas mencapai 0.007 psu/m.
*      Musim Timur
Pada gambar sebaran menegak salinitas Musim Timur  terlihat bahwa terbentuk lapisan permukaan tercampur pada seluruh stasiun.  Lapisan permukaan tercampur pada Musim Timur (pengamatan Juni 2005) terbentuk sampai batas bawah terdangkal yaitu 22 m (stasiun 3) dan terdalam 36 m (stasiun 1), dengan kisaran salinitas antara 33.33−33.91 psu dengan gradien salinitas yaitu sekitar 0.0007−0.001 psu/m.  
Lapisan haloklin pada Musim Timur di daerah pengamatan hingga kedalaman antara 147−229 m dengan kisaran salinitas antara 33.61−34.57 psu.  Gradien salinitas pada lapisan ini sekitar 0.003−0.007 psu/m.  Di bawah lapisan haloklin (lapisan dalam) salinitas mengalami penurunan nilai yang relatif konstan.  Kedalaman lapisan ini berakhir hingga kedalaman pengukuran.  Kisaran salinitas di lapisan ini pada Musim Timur antara 34.51−34.72 psu dengan gradien salinitas 0.0004-0.0006 psu/m.
Nilai salinitas di lapisan permukaan (sampai kedalaman 100 m) pada Musim Barat (Januari 2004) lebih tinggi dibandingkan Musim Timur (Juni 2005).  Hal tersebut mengindikasikan beberapa hal. Indikasi pertama adalah pada Musim Timur, massa air dari Laut Flores sudah mulai masuk ke Laut Banda menuju Pintasan Timor.  Akan tetapi massa air tersebut diperkirakan masih merupakan sisa massa air dari Laut Jawa yang pada Musim Barat sebelumnya bergerak ke timur memasuki Laut Flores.  Massa air Laut Jawa pada Musim Barat mempunyai salinitas yang rendah akibat presipitasi dan masukan air tawar dari sungai di Indonesia bagian barat (Wyrtki, 1961).  Indikasi kedua adalah pada Musim Barat massa air dari Indonesia bagian barat (umumnya mempunyai salinitas rendah)  belum sepenuhnya sampai di Pintasan Timor, sehingga salinitas permukaannya lebih tinggi.  Selain itu, Arus Bawah Pantai Papua yang menguat saat Musim Timur menyebabkan banyak massa air bersalinitas tinggi dari Samudera Pasifik Selatan yang mengalir ke perairan tersebut. Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan kisaran nilai salinitas selama dua periode pengamatan.  Lapisan permukaan tercampur Januari 2004 memiliki ketebalan lebih tinggi dibandingkan pada Juni 2005.  Lapisan haloklin pada Musim Timur (Juni 2005) lebih dalam dibandingkan dengan Musim  Barat (Januari 2004).
                              
Gambar B.3. Sebaran melintang salinitas pada Musim Timur
C.       Sebaran Menegak dan Melintang Suhu
Profil sebaran menegak dan melintang suhu pada kedua pengamatan disajikan pada Gambar C.1, C.2 dan C.3  Sebaran  suhu semakin menurun dengan  bertambahnya kedalaman.
*      Musim Barat
Gambar sebaran menegak suhu menggambarkan sebaran suhu yang mengalami penurunan nilai seiring bertambahnya kedalaman.  Pola pelapisan massa air berdasarkan perubahan suhu dibagi menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan permukaan tercampur, lapisan termoklin dan lapisan dalam.  Suhu pada lapisan permukaan tercampur hampir seragam sehingga pada Gambar 9 tampak garis berbentuk menegak.  Kedalaman lapisan permukaan tercampur berbeda untuk masing-masing stasiun.  Lapisan ini terbentuk mulai permukaan hingga batas bawah terdangkal adalah 24 m (stasiun 5) dan terdalam 58 m (stasiun 3).  Kisaran suhu  pada lapisan permukaan tercampur mencapai 29.31−29.88 oC dan gradien suhu mencapai 0.01 oC/m .
Gambar C.1  Sebaran menegak suhu pada Musim Barat dan Musim Timur
Di bawah lapisan permukaan tercampur terdapat lapisan termoklin  yang nilai suhunya menurun drastis dengan bertambahnya kedalaman.  Lapisan termoklin pada pengamatan Januari 2004 terbentuk mulai dari batas bawah lapisan permukaan tercampur dengan batas bawah yang bervariasi untuk masing-masing stasiun.  Kedalaman terdangkal sebesar 203 m (stasiun 1) dan terdalam sebesar 292 m (stasiun 5), dengan kisaran suhu mencapai 10.57−29.53 oC.  Lapisan termoklin memiliki gradien suhu mencapai 0.1 oC/m. Di bawah kedalaman 300 m terjadi penurunan suhu yang relatif lambat.  Lapisan ini ditandai dengan bentuk garis hampir menegak yang terletak di bawah lapisan termoklin.  Lapisan ini  memiliki kisaran suhu antara 2.41−14.94 oC dan memiliki gradien suhu kurang dari 0.02oC/m. 
                                         Gambar C.2 Sebaran melintang suhu pada Musim Barat
*      Musim Timur 
          Pengamatan saat Musim Timur dilakukan pada bulan Juni 2005.  Sebaran menegak suhu memperlihatkan nilai suhu yang semakin meningkat seiring bertambahnya kedalaman.  Lapisan permukaan tercampur pada Musim Timur  terbentuk mulai permukaan hingga batas bawah terdangkal yaitu 31 m (stasiun 5) dan terdalam 69 m (stasiun 2).  Kisaran suhu lapisan ini mencapai 27.57−28.06 oC dan memiliki gradien suhu 0.01 oC/m. Lapisan termoklin pada pengamatan Juni 2005 terbentuk mulai dari batas bawah lapisan permukaan tercampur dengan batas bawah yang bervariasi untuk masing-masing stasiun.  Kedalaman terdangkal yaitu sebesar 213 m (stasiun 2) dan terdalam sebesar 301 m (stasiun 5), dengan kisaran suhu mencapai 11.04−27.75 oC dan  gradien suhu mencapai 0.1 oC/m.  
          Suhu pada lapisan dalam mengalami penurunan nilai yang lambat seiring bertambah kedalaman, dimulai kedalaman di bawah 214 m sampai akhir pengukuran.  Suhu pada lapisan ini berkisar antara 2.47−13.59 oC.  Lapisan dalam pada pengamatan Juni 2005 memiliki gradien suhu mencapai 0.01 oC/m.  Gambar sebaran menegak dan melintang suhu di atas dapat digunakan untuk mengetahui perbedaan karakteristik suhu pada Musim Barat (Januari 2004) yang diwakili oleh 5 stasiun  dan Musim Timur (Juni 2005) yang diwakili oleh 6 stasiun. Pada sebaran menegak suhu (Gambar C.1), terlihat suhu permukaan pada Musim Timur (Januari 2004)  lebih rendah (dingin) dibandingkan pada Musim Barat (Juni 2005). 
          Perbedaan suhu permukaan antara kedua waktu pengamatan yakni suhu pada Januari 2004 lebih tinggi 1.82 oC dari suhu pada Juni 2005.  Hal ini disebabkan angin yang bertiup pada Musim Timur (Juni-Agustus) berasal dari  Australia yang membawa massa udara yang lebih dingin (Wyrtki, 1961).  Angin dari Australia yang membawa massa air yang lebih dingin (kelembaban rendah) menyebabkan hilangnya bahang, adanya percampuran vertikal, dan mengalirnya massa air ke daerah yang sedikit pengaruh radiasinya dapat menyebabkan penurunan suhu (Ilahude dan Gordon, 1996). Pada sebaran melintang suhu (Gambar 10 dan 11) terlihat adanya perbedaan pola pelapisan suhu pada kedua waktu pengukuran.  Sebaran suhu pada Musim Timur memperlihatkan bahwa lapisan permukaan tercampur yang terbentuk lebih tebal dibandingkan pada Musim Barat.  Perbedaan ketebalan lapisan permukaan tercampur pada kedua musim mencapai 45 m.  Lebih tebalnya lapisan permukaan tercampur pada bulan Juni 2005 diperkirakan karena Angin Muson Tenggara yang mulai bertiup bulan Juni lebih kuat mencampur massa lapisan permukaan dibanding Angin Muson Barat Daya yang bertiup bulan Januari di Pintasan Timor.  Menurut Wyrtki (1961) ketebalan lapisan tercampur dipengaruhi oleh angin, arus dan pasang surut.  Lapisan tercampur yang relatif lebih dalam memberi indikasi kemungkinan angin yang bertiup di permukaan air , arus dan pasang surut di daerah tersebut lebih kuat. 
          Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat, di daerah pengamatan pada bulan Juni 2005 bertiup angin dan arus dengan kecepatan rata-rata 6.74 m/s dan 0.22 m/s, sedangkan pada bulan Januari 2004 bertiup angin dengan kecepatan rata-rata 5.27 m/s dan terdapat arus  dengan kecepatan rata-rata 0.08 m/s.  Sebagai akibatnya, lapisan permukaan cenderung akan lebih tebal pada Juni 2005 (Musim Timur) dibandingkan pada Januari 2004 (Musim Barat).  Lapisan termoklin yang terbentuk pada Musim Timur (Juni 2005) lebih tebal dibandingkan pada Musim Barat (Januari 2004).  Pergerakan arus yang semakin cepat menyebabkan kekuatan pengadukan akan semakin besar sehingga dapat mendorong lapisan termoklin semakin ke dalam (Wyrtki, 1961).  Selain itu, kedalaman lapisan permukaan tercampur berpengaruh terhadap kedalaman lapisan termoklin.  Angin dan arus yang terjadi dengan kecepatan tinggi di lapisan permukaan akan mendorong lapisan permukaan tercampur lebih dalam.  Lapisan permukaan tercampur yang lebih tebal akan mengakibatkan batas atas dari lapisan termoklin lebih dalam.  Perbedaan ketebalan lapisan termoklin pada kedua musim  mencapai 103 m.
Gambar C.3 Sebaran melintang suhu pada Musim Timur

D.       Sebaran Densitas
Densitas bertambah dengan bertambahnya salinitas dan berkurangnya temperatur, kecuali pada temperatur di bawah densitas maksimum. Densitas air laut terletak pada kisaran 1025 kg m-3 sedangkan pada air tawar 1000 kg m-3. Para oseanografer biasanya menggunakan lambang σt (huruf Yunani sigma dengan subskrip t, dan dibaca sigma-t) untuk menyatakan densitas air laut. dimana σt = ρ - 1000 dan biasanya tidak menggunakan satuan (seharusnya menggunakan satuan yang sama dengan ρ). Densitas rata-rata air laut adalah σt = 25.
Perlu diperhatikan bahwa densitas maksimum terjadi di atas titik beku untuk salinitas di bawah 24,7 dan di bawah titik beku untuk salinitas di atas 24,7. Hal ini mengakibatkan adanya konveksi panas.
  • S < 24.7 : air menjadi dingin hingga dicapai densitas maksimum, kemudian jika air permukaan menjadi lebih ringan (ketika densitas maksimum telah terlewati) pendinginan terjadi hanya pada lapisan campuran akibat angin (wind mixed layer) saja, dimana akhirnya terjadi pembekuan. Di bagian kolam (basin) yang lebih dalam akan dipenuhi oleh air dengan densitas maksimum.
  • S > 24.7 : konveksi selalu terjadi di keseluruhan badan air. Pendinginan diperlambat akibat adanya sejumlah besar energi panas (heat) yang tersimpan di dalam badan air. Hal ini terjadi karena air mencapai titik bekunya sebelum densitas maksimum tercapai.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

            Profil  sebaran menegak dan melintang menunjukkan terdapat pelapisan untuk setiap parameter yang diamati (suhu dan salinitas) terhadap kedalaman.  Profil suhu menunjukkan terjadinya penurunan nilai dengan bertambahnya kedalaman, sedangkan untuk parameter salinitas dan densitas mengalami peningkatan seiring bertambahnya kedalaman. Suhu permukaan pada Musim Barat mencapai 29.88 oC, lebih tinggi dibandingkan Musim Timur yang hanya 28.06 oC. Kisaran nilai salinitas permukaan pada Musim Timur lebih rendah daripada Musim Barat, yaitu mencapai 33.91 psu (Musim Timur) dan 34.33 psu (Musim Barat) dan data ini berbanding lurus dengan nilai densitasnya.
Dari hasil pengolahan data Safitri, dkk 2012, menunjukkan adanya pengaruh musim dan fenomena El Niño/La Niña-Southern Oscillation  (ENSO) terhadap transpor Arlindo, salinitas dan temperatur. Rata-rata transpor Arlindo di Laut Timor periode 1995-2004 adalah  -0,29 Sv. pengaruh musim selama musim timur (Juni, Juli, Agustus) menyebabkan transpor Arlindo menjadi lebih kuat, yaitu sebesar -0,34 Sv dibandingkan saat musim barat (Desember, Januari, Februari) sebesar  -0,28 Sv. Selain itu, pengaruh musim dan dinamika perairan juga terlihat pada parameter Oseanografi. Nilai rata-rata temperatur pada musim timur lebih rendah (26,84 oC) daripada saat musim barat, yaitu sebesar 29,6 oC. Sedangkan salinitas saat musim timur lebih tinggi, yaitu 34,35 psu dibandingkan pada saat musim baratnya (34,22 psu). Hal ini selanjutnya dapat mengindikasikan adanya fenomena  upwelling  dan downwelling di suatu perairan.   



DAFTAR PUSTAKA
           
Jayanti Diah Cahyaningrum A. D. 2009. Karakteristik Massa Air Arlindo di Pintasan Timor
pada Musim Barat dan Musim Timur. Skrips. Program Studi Ilmu dan Teknologi
Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Safitri, M., Cahyarini, S.Y., & Putri, M.R.  2012. Variasi Arus Arlindo dan Parameter
Oseanografi di Laut Timor Sebagai Indikasi Kejadian Enso. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 2, Hlm. 369-377.













Lampiran Pertanyaan dan Jawaban Kelompok

*   Pertanyaan dari Kelompok IV
o   Diketahui bahwa di bagian timur dari Laut Timor, terdapat sebuah Gn Berapi di dalam laut. Bagaimana pengaruhnya terhadap Suhu dari Laut Timor,..??
*   Pertanyaan dari Kelompok VII
o   Untuk proses upwelling dan Downwelling, mengapa terjadi juga pada Laut Timor,..? (yang diketahui hanya 3 Laut saja yang mengalami upwelling dan downwelling- laut Jepang, laut Banda dan laut Peru)

*      Jawaban ::
o   Untuk kelompok IV
§  Untuk pengaruh dari Gn Berapi di dalam Laut, pengaruhnya pasti ada, tapi yang merupakan penelitian disini adalah Laut Timor secara umum (tempat Gn Berapinya di bagian timur) Jika Gn Meletus maka jelas bahwa berpengaruh kepada Suhu di Laut sekitar hingga juga ke Salinitas dan densitasnya, tetapi untuk suhu rata-rata yang diperoleh tidak berpengaruh besar karena penelitian ini juga sudah dilakukan sejak tahun 1995 J
o   Untuk kelompok VII
§  Dari penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa laut Timor juga mengalami fenomena upwelling dan downwelling. Hal ini disebabkan juga karena kondisi geografis laut Timor sebagai salah satu jalur Arlindo (Arus lintas Indonesia). Yang terjadi adalah Massa air asal Samudera Pasifik masuk ke perairan Indonesia melalui dua jalur.  Jalur  Selat Makasar (jalur barat) yang dimulai dari Selat Mindanao, bergerak ke Laut Sulawesi terus bergerak ke Selat Makasar, Laut Flores, dan Laut Banda.  Jalur lain (jalur timur) Arlindo masuk melalui Laut Maluku dan Laut Halmahera.  Jalur keluar Arlindo melewati perairan yang terbuka terhadap Samudera Hindia seperti Selat Lombok, Selat Ombai, Laut Sawu dan Laut Timor.
§  Tambahan dari Ibu, Semua lautan terbuka banyak mengalami fenomena upwelling dan downwelling, tetapi untuk 3 Laut yang telah disebutkan (Laut Jepang, Laut Peru dan Laut Banda) mempunyai Siklus tersendiri, bisa dalam setahun mengalami upwelling dan downwelling yang tetap sebanyak 2 kali.

1 komentar:

  1. Harrah's Cherokee Casinos & Entertainment - JSH Hub
    Harrah's Cherokee 당진 출장마사지 Casinos & Entertainment 여수 출장안마 · Harrah's 전라북도 출장마사지 Cherokee Casinos & Entertainment. · Harrah's Cherokee 용인 출장마사지 Casinos & 광주광역 출장샵 Entertainment · Harrah's Cherokee Casinos & Entertainment

    BalasHapus